Saminisme salah satu perjuangan rakyat pribumi

Ajaran Samin (Saminisme) yang disebarkan oleh Samin Surosentiko (1859-1914), adalah sebuah konsep penolakan terhadap budaya kolonial Belanda dan penolakan terhadap kapitalisme yang muncul pada masa penjajahan Belanda abad ke-19 di Indonesia. Sebagai gerakan yang cukup besar Saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati.

Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang.Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri.

Otak intelektual gerakan Saminisme adalah Raden Surowijoyo. Pengetahuan intelektual Kyai Samin ini didapat dari ayah, yaitu anak dari pangeran Kusumaniayu (Bupati Sumoroto, kabupaten Tulungagung Jawa timur). Lelaki kelahiran tahun 1859 di Ploso ini sejak dini dijejali dengan pandangan-pandangan viguratif pewayangan yang suka mengalah, dan mencintai keadilan. Beranjak dewasa, dia terpukul melihat realitas yang terjadi, yaitu banyaknya nasib rakyat yang sengsara, dimana Belanda pada saat itu sangat rajin melakukan ekploitasi hutan jati dan mewajibkan rakyat untuk membayar pajak. Pada saat itulah, Raden Surowijoyo melakukan perampokan pada keluarga kaya dan hasilnya dibagi-bagi kepada fakir miskin. Pada saat itulah, Kyai keturunan bangsawan ini dikenal oleh masyarakat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata “sami-sami amin” yang artinya rakyat sama-sama setuju ketika Raden Surawijoyo melakukan langkah memberandalkan diri untuk membiayai pembangunan unit masyarakat miskin.


Pada 8 November 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian 40 hari sesudah menjadi Ratu Adil itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh asisten Wedana Randublatung. Beserta 8 pengikutnya, Samin lalu dibuang ke kota Padang, Sumatra Barat.

Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan gerakan Samin. Puncak penyebaran gerakan Samin terjadi pada 1914. Pemerintah Belanda menaikkan pajak. Disambut oleh para pengikut Samin dengan pembangkangan dan penolakan dengan cara-cara unik. Misalnya, dengan cara menunjukkan uang kepada petugas pajak, "Iki duwite sopo?" (bahasa Jawa: Ini uangnya siapa?), dan ketika sang petugas menjawab, "Yo duwitmu" (bahasa Jawa: Ya uang kamu), maka pengikut Samin akan segera memasukkan uang itu ke sakunya sendiri.

Di Desa Tapelan, Bojonegoro, juga terjadi perlawanan terhadap pemerintah, dengan tidak mau membayar pajak. Karena itu, teror dan penangkapan makin gencar dilakukan pemerintah Belanda terhadap para pengikut Samin.

Pada tahun 1914 akhirnya Samin meninggal dalam pengasingannya di Sumatra Barat. Namun teror terus dilanjutkan oleh pemerintah Belanda terhadap pengikut Samin. Akibat teror ini, sekitar tahun 1930-an, perlawanan gerakan Samin terhadap pemerintah kolonial menguap dan terhenti.



Daerah penyebaran ajaran Samin



Tersebar pertama kali di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Pada 1890 pergerakan Samin berkembang ke Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya.

Dua tempat penting dalam pergerakan Samin adalah Desa Klopodhuwur di Blora dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang memiliki jumlah terbanyak pengikut Samin. Orang Samin di Tapelan memeluk saminisme sejak tahun 1890. Di perkirakan jumlahnya 2.305 keluarga sampai tahun 1917, tersebar di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, dan Grobogan dan yang terbanyak di Tapelan.



Konsep ajaran Samin




  • Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda-bedakan agama dan tidak pernah mengingkari atau membenci agama. 
  • Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka iri hati, dan jangan suka mengambil milik orang.
  • Bersikap sabar dan jangan sombong.
  • Menurut orang Samin, roh orang yang meninggal tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan pakaiannya.
  • Berdagang bagi orang Samin dilarang karena dalam perdagangan terdapat unsur “ketidakjujuran”. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang.

Categories:

Leave a Reply